blogger pemula
Saturday, December 13, 2014
Paradigma tentang bakat sudah saatnya dirombak.
Menyedihkan, tatkala seseorang terdiskreditkan karena alasan tidak berbakat. Kesempatan untuk mencoba pun lenyap, yang tertinggal hanya pemahfuman
terpaksa dan menyerah pada nasib. Bisa
berkembang, syukur, tidak pun tak apa, toh memang tidak berbakat. Aduh, kasihan
betul.
Dalam hal ini bakat dibedakan dari spesialisasi, termasuk yang berkaitan
dengan pemosisian yang berlaku dalam dunia kerja pada umumnya. Di kalangan
orangtua, misalnya, tanpa sadar sering kali begitu cepat memberi label anak A
berbakat seni, anak B tidak, dan seterusnya. Hal itu mengakibatkan perlakuan
pada anak pun selektif. Ada anak yang mendapat lebih banyak kesempatan
mengembangkan bakat tertentu, sementara anak lain kurang. Contoh konkret
tersebut tak terkecuali juga melanda dunia pendidikan. Berapa persen siswa
suatu sekolah punya kesempatan mengeksplorasi bakat-bakatnya? Paling-paling tak
lebih dari 10 hingga 25 persen, selebihnya dipendam atau mengembangkan dengan
cara sendiri yang belum tentu terarah dengan baik, hingga manfaatnya juga tidak
terasa. Bakat Definisi bakat yang ditegakkan dalam koridor gugus utama umumnya
mengacu pada dua pemahaman. Bakat adalah bawaan, given from God, dan bakat
adalah sesuatu yang dilatih. Sebelum memahami beberapa definisi dan pendekatan
bakat yang juga diungkapkan beberapa ahli, ada baiknya kita yakini satu hal:
yakin dan percayalah bahwa setiap insan di muka bumi ini telah memiliki bakat
berupa anugerah cuma- cuma dari Sang Maha Kuasa. Kita mengenal “Empat Karunia
Ilahi” (4 Human Endowment), atau bakat alami, yakni kesadaran diri (self
awareness), imajinasi (creative imagination) , hati nurani (conscience), dan
kehendak bebas (independent will). Tanggung jawab utama manusia sebagai
penerima mandat itu adalah memberdayakan keempat bakat alami atau talenta atau
karunia tersebut secara maksimal dan optimal. Beberapa istilah kerap dipakai
ketika berbicara bakat secara spesifik, antara lain aptitude, talent/talenta,
intelligence/inteligensi/kecerdasan, gifted/giftedness, dan sebagainya. Pada
dasarnya istilah-istilah tersebut membawa makna bakat yang berkembang sesuai
kebutuhan dan kepentingan. Namun sama-sama mengandung unsur bakat bawaan dan
latihan. Misalnya yang dikemukakan Renzulli (1981), bakat merupakan gabungan
dari tiga unsur esensial yang sama pentingnya dalam menentukan keberbakatan
seseorang, yakni kecerdasan, kreativitas, dan tanggung jawab. Kecerdasan,
beserta aspek-aspeknya dapat diukur dengan peranti atau tes psikologi, termasuk
kemampuan intelektual umum dan taraf inteligensi. Aspek-aspek kemampuan
intelektual, antara lain mencakup logika abstrak, kemampuan verbal, pengertian
sosial, kemampuan numerik, kemampuan dasar teknik dan daya ingat/ memori.
Kreativitas, menurut Guilford (1956), dapat dinilai dari ciri-ciri aptitude
seperti kelancaran, fleksibilitas dan orisinalitas, maupun ciri-ciri
non-aptitude, antara lain temperamen, motivasi, serta komitmen menyelesaikan
tugas. Tanggung jawab, merupakan pembuktian atau tindakan nyata dari kecerdasan
dan kreativitas seseorang terkait dengan pemberdayaan dirinya serta kontribusi
bagi kehidupan sosial dan kemanusiaan. Pendekatan lain mengatakan bakat adalah
kondisi seseorang yang dengan suatu pendidikan dan latihan memungkinkannya
mencapai kecakapan, pengetahuan dan keterampilan khusus. Dalam hal ini bakat
merupakan interseksi dari faktor bawaan dan pengaruh lingkungan. Jadi apabila
seseorang terlahir dengan suatu bakat khusus, jika dididik dan dilatih, bakat
tersebut dapat berkembang dan dimanfaatkan secara optimal. Sebaliknya jika
dibiarkan saja tanpa pengarahan dan penguatan, bakat itu akan mati dan tak
berguna. Bakat adalah tingkat kemampuan yang tinggi yang berhasil dicapai
seseorang dalam keterampilan tertentu, demikian menurut Tedjasaputra, MS
(2003). Menampilkan bakat dibutuhkan motivasi kuat yang disebut minat, yakni
kebebasan seseorang memilih segala sesuatu yang disukai, disenangi dan ingin
dilakukan. Gardner (1993) mengganti istilah bakat dengan “kecerdasan” saat
mengusung teori kecerdasan jamak atau multiple intelligence yang cukup banyak
dipakai. Sedikitnya ada sembilan kecerdasan atau bakat yang mungkin dimiliki
seseorang, yakni logical mathematical, linguistic/verbal, visual spatial,
musical, bodily-kinesthetic, interpersonal, intrapersonal, natural, dan moral/
spiritual. Teori Gardner ini menjadi pegangan bahwa setiap orang memiliki bakat
unik dan berbeda. Orang tidak dapat dipaksa berprestasi di luar bakat khusus
yang paling menonjol pada dirinya. Bakat dan Otak Manusia Beberapa pendekatan
sebelumnya merupakan pemahaman lama yang masih tetap dapat dianut karena belum
usang. Khususnya dalam hal penelusuran minat-bakat dan pengembangan alat tes
bakat. Sejak Prof Roger Sperry, penerima Nobel tahun 1981 melalui penelitian
panjangnya bertahun-tahun, mengungkapkan hasil temuannya tentang gelombang
otak, maka paradigma baru muncul dan berkembang. Hipotesisnya telah
dibuktikannya sendiri bahwa setiap aktivitas yang berbeda memunculkan gelombang
otak yang berbeda pula. Temuan ini sungguh-sungguh mengubah cara pandang
tentang potensi dan kreativitas otak manusia. Hal yang mengejutkan, rata-rata
otak membagi kegiatannya secara jelas ke dalam kegiatan “otak belahan kiri”
(korteks kiri) dan kegiatan “otak belahan kanan” (korteks kanan). Saat korteks
kanan sedang aktif, korteks kiri cenderung tenang atau istirahat, demikian
sebaliknya. Kegiatan yang paling mudah diamati tentang pergantian aktivitas
otak adalah saat kita berjalan. Kaki kanan digerakkan oleh aktivitas otak belahan
kiri, saat kaki kiri bergerak otak belahan kanan mengambil alih. Setiap otak
memiliki keterampilan yang khas dalam urutan kerja yang sangat rapi. Kondisi
penuh harapan dari olahan dan kembangan penemuan ini adalah setiap orang
memiliki banyak sekali keterampilan intelektual, berpikir, dan kreativitas,
yang belum digunakan sepenuhnya. Mengacu pada beberapa definisi bakat
terdahulu, jelas bahwa bakat-bakat yang dipenuhi oleh potensi intelektual,
keterampilan dan kreativitas masih dapat terus digali dari diri kita. Hal ini
memberikan harapan besar dan makna sangat dalam, yakni kita tidak pernah
menduga bahwa ternyata kita bukannya tidak berbakat menggambar atau tidak
berbakat matematika. Yang terjadi adalah kita tidak memberi kesempatan pada
kedua belahan otak untuk menggali diri dan unjuk maksimal. Orang cenderung
bukannya menggali dan memaksimalkan fungsi perbedaan kegiatan otak belahan
kanan dan kiri, namun justru membatasi. Diketahui bahwa otak belahan kiri
melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan logika, analisis, kuantitatif,
fakta, rencana, organisasi, detail/perinci, sekuensial. Tugas otak belahan
kanan berhubungan dengan sifat keseluruhan, intuitif, sintesis, integrasi,
emosi, interpersonal, perasaan, kinestetik. Pembagian aktivitas ini melahirkan label
bahwa seniman berotak kanan sedangkan ilmuwan adalah orang-orang otak kiri.
Maka manusia pun seolah terbagi dikotomis, orang otak kiri dan orang otak
kanan. Betulkah? Jangan pernah menggolongkan Albert Einstein sebagai orang
berotak kiri. Ia adalah manusia jenius yang berhasil menggali dan memaksimalkan
fungsi kedua belahan otaknya, sehingga melahirkan teori relativitas yang luar
biasa itu. Awalnya Einstein membiarkan otak belahan kanan melakukan aktivitas
imajinasi tentang sebuah perjalanan di permukaan matahari. Singkat cerita,
perpaduan daya imajinasi dan hal lain yang dilakukan belahan kanan, serta
kemampuan matematika, berpikir sistematis dan hal lain yang dilaksanakan
belahan kiri, membawa dirinya pada sebuah temuan spektakuler yang maha dahsyat.
Bakat, tidak semata-mata hasil ciptaan yang mencuat secara seragam pada
kesempatan berbeda, tidak pula yang hanya digambarkan oleh atribut profesi dan
pekerjaan. Bakat adalah penggalian terus- menerus dan pemanfaatan seluruh
kapasitas otak secara bertanggung jawab untuk mewujudnyatakan berbagai hal yang
tidak itu-itu saja, atau sesuatu yang sudah telanjur dicap sebagai bakat yang
terbatas. Artinya, tidak ada orang yang tidak berbakat untuk hal tertentu,
karena kita semua memiliki otak belahan kiri dan kanan. Coba saja mulai latihan
menulis dengan salah satu tangan yang tidak biasa digunakan secara dominan
sehari-hari. Latihlah selama satu atau dua bulan terus-menerus. Apa yang
terjadi? Ternyata tangan kita yang satu itu berbakat menulis juga. Hanya saja tangan
yang satu lagi sudah telanjur dominan dalam latihan bertahun-tahun sejak kita
belajar menulis. Betul?
Title : TIDAK ADA ORANG YANG TIDAK BERBAKAT
Description : Paradigma tentang bakat sudah saatnya dirombak. Menyedihkan, tatkala seseorang terdiskreditkan karena alasan tidak berbakat. Kesempatan untu...
Rating : 5