blogger pemula
Saturday, December 13, 2014
Salah satu pertanyaan yang sering dilayangkan kepada saya adalah soal
bagaimana membuat self-publishing atau independent publishing.
Self-publihsing adalah kegiatan penerbitan karya-karya sendiri. Sementara, independent
publishing umumnya adalah sebuah penerbitan mandiri yang dikelola secara
independen, yang menerbitkan karya-karya sendiri maupun karya orang lain. Tak
jarang, sebuah penerbitan umum yang berkembang semula diawali dari self/independent
publishing.
Seperti saya singgung dalam tulisan-tulisan sebelumnya, salah satu tren
perbukuan ke depan adalah maraknya pendirian penerbitan mandiri ini. Mengapa?
Ya, karena sekarang membuat penerbitan sendiri sudah sedemikian mudahnya.
Selain itu, banyak manfaat yang bisa diambil, selain juga potensi bisnisnya
yang lumayan. Saya pun mendapati bahwa minat para penulis untuk membuat
penerbitan mandiri ternyata cukup lumayan. Klien-klien saya sendiri juga banyak
yang berminat dan akhirnya mendirikan penerbitannya sendiri.
Nah, bagi Anda yang ingin mencoba membuat self-publishing atau independent
publishing, saya coba memadatkan segala tetek-bengek pembuatan penerbitan
mandiri ini ke dalam delapan langkah berikut.
Pertama, siapkan naskah yang siap terbit dan memenuhi kriteria atau
anjuran-anjuran sebagaimana saya tulis dalam buku Resep Cespleng Menulis
Buku Best Seller (Gradien, 2005). Naskah siap terbit artinya naskah yang
sudah tersunting secara rapi dan lengkap (lihat artikel “Bagaimana Melengkapi
dan Mengamankan Naskah Buku?”). Naskah yang sudah rapi dan lengkap akan
memudahkan proses penerbitan buku. Sementara, naskah yang tidak lengkap dan
rapi bisa sangat merepotkan.
Untuk Anda yang ingin benar-benar mendapatkan manfaat finansial dari
‘petualangan penerbitan’ ini, saya anjurkan supaya benar-benar memilih naskah
buku yang berpotensi untuk laku keras. Atau, akan jauh lebih baik lagi bila
naskah itu berpotensi menjadi buku best-seller. Apa ciri-cirinya? Saya
sudah bahas lengkap dalam artikel-artikel atau buku saya sebelumnya. Kecuali
Anda memiliki misi khusus dengan penerbitan naskah tertentu, maka soal laku
atau tidak laku memang tidak terlalu memusingkan.
Kedua, siapkan modal yang cukup untuk mencetak dan mempromosikan
buku. Perkiraan saya, jika kita bisa efesien sekali dalam proses penerbitan
ini, maka dengan modal sekitar Rp15-30 juta kita sudah bisa menerbitkan buku fast
book atau buku ukuran 14 x 21 cm dengan rata-rata ketebalan antara 150-200
halaman dan oplah mencapai 3.000 eksemplar. Di sejumlah kota seperti di
Yogyakarta, Bandung, Malang, dan Surabaya, kadang dengan modal di bawah Rp10
juta pun bisa jalan dengan jumlah cetak yang lebih sedikit.
Nah, sebagian orang tidak bermasalah dengan modal. Klien-klien saya,
terutama yang datang dari lembaga konsultan, perusahaan, atau pembicara publik,
biasanya tidak menemui kesulitan soal modal penerbitan. Sementara, bagi sebagian
lagi amat bermasalah alias sulit mendapatkan modal. Saya lihat, tak sedikit
penulis yang memanfaatkan royalti bukunya untuk memodali dan mengawali
penerbitan mandiri mereka. Saya sendiri termasuk yang menempuh jalan ini.
Sebagian lain ada yang patungan dengan rekan-rekannya. Prinsipnya, asal ada
naskah yang bagus potensi pasarnya, maka modal pasti tidak sulit didapat.
Ketiga, merumuskan nama penerbitan yang menjual. Bagi saya sendiri,
ini merupakan satu tahap yang penting dan sangat menarik. Bagaimana tidak?
Membuat nama penerbitan layaknya menciptakan sebuah merek produk. Kita
menciptakan identitas yang nantinya akan berkembang menjadi sebuah institusi.
Sementara mereknya sendiri bisa saja berkembang dan memiliki ekuitas yang
tinggi. Bolehlah kita berandai-andai suatu saat penerbitan yang kita lahirkan
ini akan besar dan mapan sebagaimana penerbitan-penerbitan lainnya.
Maka dari itu, sekalipun kita bebas memilih nama penerbitan, saya anjurkan
supaya Anda memilih atau menciptakan nama penerbitan yang memiliki makna
tertentu, sekaligus punya nilai jual. Ketika saya melahirkan Bornrich
Publishing, maka bayangan saya adalah sebuah penerbitan buku yang sifatnya
menggerakkan motivasi dan etos ekonomi, dan kemudian berujung pada cita-cita
kesejahteraan masyarakat. Ketika saya melahirkan Fivestar Publishing,
maka bayangan saya adalah sebuah penerbitan yang bertujuan untuk menggerakkan
masyarakat supaya bangkit dan mengejar prestasi terbaik.
Khusus untuk lembaga konsultansi atau yayasan, maka inisial atau singkatan
dari institusi tersebut juga bagus untuk dipakai sebagai nama penerbitan.
Selain membantu branding lembaga tersebut, koneksitas antara penerbitan dengan
lembaga tadi juga terasa lebihs erasi. Semisal, Jagadnita adalah sebuah lembaga
konsultasi psikologi yang kemudian mendirikan Jagadnita Publishing. Atau
Quantum Asia Corpora, sebuah lembaga konsultansi yang kemudian mendirikan QAC
Publishing.
Keempat, menyiapkan desain kaver dan tata letak (lay out).
Untuk kedua pekerjaan ini, kita bisa melakukannya sendiri bila mampu, atau
dengan menggunakan tenaga desain profesional. Kita bisa memanfaatkan
tenaga-tenaga desainer freelance atau mereka yang biasanya bekerja di
perusahaan penerbitan. Selain itu, kita juga bisa mendapatkan desainer kaver
atau penata letak dengan cara mem-posting pengumuman ke milis-milis
perbukuan.
Untuk tata letak buku, biayanya bervariasi tergantung pada ketebalan buku
serta ornamen-ornamen di dalamnya. Jika naskah buku kita banyak menggunakan
grafik, foto, atau detail ornamen yang rumit, maka biaya tata letaknya bisa
agak mahal (standar Rp1.500.000-3.000.000). Sementara, tata letak buku yang
hanya berisi teks tidak memerlukan biaya mahal karena relatif lebih mudah
dikerjakan (standar Rp750.000-1.500.000).
Soal biaya desain kaver bervariasi, tergantung pada siapa yang mengerjakan
dan jenis desain yang dikehendaki. Di Yogyakarta, kita bisa mendapatkan
desainer kaver standar dengan fee berkisar antara Rp400.000-800.000. Adapun di
Jakarta, fee untuk desain kaver standar berkisar antara Rp600.000-1.200.000.
Untuk desain-desain tertentu, biayanya bisa lebih mahal. Saya dengar, seorang
desainer kaver buku yang cukup punya nama menetapkan fee sebesar Rp10
juta.
Kelima, urus ISBN dan membuat barcode. Setiap judul buku perlu
‘identitas’ yang berlaku secara internasional dengan cara mendapatkan nomor
ISBN. Jika sudah mendapat nomor ISBN, maka pekerjaan berikutnya adalah membuat barcode
buku. Perpustakaan Nasional, tempat kita mendaftarkan ISBN buku kita, juga
melayani pembuatan barcode. Tapi, kita bisa buat sendiri barcode
dengan menggunakan program Corel Draw, asal sudah mendapatkan nomor ISBN.
Cara mendapatkan ISBN mudah sekali. Kita cukup menyiapkan satu surat permohonan ISBN
(ditujukan kepada Kepala Perpustakaan Nasional u.p. bagian ISBN) dengan
dilengkapi fotokopi halaman judul buku, halaman hak cipta, daftar isi, dan
pendahuluan. Berkas bisa dikirim via pos, faksimili, atau diantar langsung ke
Gedung Perpustakaan Nasional
RI (lantai 2) di Jalan Salemba
Raya 28-A, Jakarta
(Telp: 021-3101411 psw 437). Bila kita baru pertama kali menerbitkan buku, maka
kita akan diminta mengisi formulir keanggotaan ISBN. Kita akan mendapatkan
kartu keanggotaan ISBN dan penerbitan kita tercatat di Perpustakaan Nasional.
Pengalaman saya, mengurus ISBN berlangsung cepat, tak kurang dari 15 menit dan
hanya membutuhkan biaya administrasi Rp25.000 (tanpa film barcode) untuk
setiap judul buku.
Keenam, memilih percetakan yang tepat. Ada banyak jenis percetakan, tetapi pastikan
untuk hanya memilih percetakan yang sudah berpengalaman dalam mencetak buku.
Jangan pilih sembarang percetakan, terlebih percetakan yang hanya sekali-sekali
mencetak buku. Jangan pula tergoda dengan percetakan yang asal murah.
Terpenting adalah kualitas cetak dengan harga yang wajar. Ingat, produk buku
punya bobot lain dibanding materi-materi cetak lainnya. Kalau kualitas cetaknya
buruk, lupakanlah soal kredibilitas, kepercayaan, dan soal brand penerbitan
maupun penulisnya.
Jika kita seorang pemula dalam penerbitan buku, usahakan mendapat pelayanan
dari staf marketing percetakan tersebut. Pengalaman saya dan klien-klien saya,
hampir setiap percetakan yang baik pasti menyediakan staf marketing yang siap
melayani kliennya. Berurusan dengan percetakan seperti ini, kita bisa tinggal
menyerahkan materi cetak, sementara mereka yang akan mengurus detailnya. Dan
untuk amannya, pastikan pula kita bisa bersinergi dengan bagian percetakan dan
desainer kaver maupun penata letak isi buku.
Ketujuh, menentukan harga jual buku. Setelah mengetahui biaya cetak
dan komponen-komponen biaya lainnya (desain kaver, tata letak, editing,
promosi), maka kita sudah bisa memperkirakan harga jual buku nantinya.
Bagaiamana rumusannya? Mudah: seluruh biaya produksi dibagi dengan jumlah oplah
buku, lalu dikalikan lima,
hasilnya adalah harga jual buku kita. Contoh, biaya produksi Rp24.000.000
dibagi jumlah cetak 3.000 eksemplar (ketemu harga produksi @ Rp8.000) dikalikan
lima =
Rp40.000. Jadi, harga jual buku kita di toko nantinya Rp40.000.
Formula harga di atas adalah yang paling umum digunakan dan membuat harga
buku tetap terjangkau. Yang saya amati, ada pula yang menggunakan bilangan
pengali antara 6-7 kali untuk menetapkan harga jual. Akibatnya, harga buku
menjadi jauh lebih mahal. Di satu sisi ini menguntungkan penerbit, di sisi lain
ini berisiko juga, karena harga yang terlalu tinggi juga mempengaruhi minat
beli komsumen. Oleh karena itu, pada kesempatan pertama menerbitkan buku,
jangan pernah tergoda untuk melambungkan harga buku. Bila ingin mengunakan
angka pengali lebih dari lima,
pertimbangkan betul-betul daya serap pasar nantinya. Bila perlu, mintalah
masukan dari konsultan penerbitan, distributor, atau toko buku kerena merekalah
yang paham soal itu.
Kedelapan, mengadakan perjanjian distribusi dengan distributor. Pada
saat naskah buku naik cetak, kita sudah harus mendapatkan distributor buku.
Sebab, bila kita sudah mendapatkan distributor buku saat proses pencetakan
berlangsung, maka selesai cetak buku itu bisa langsung dikirim ke gudang
distributor. Distributor buku adalah salah satu pilar utama bisnis penerbitan,
selain toko buku dan penerbit itu sendiri. Sebagai penerbit, bisa saja kita
berkeliling dari toko ke toko untuk menawarkan buku kita (konsinyasi atau beli
putus). Tapi, untuk menghemat tenaga, menjangkau toko-toko secara nasional, dan
mempermudah persoalan administrasi, lebih baik kita menggunakan jasa
distributor.
Banyak distributor buku dengan kekuatan maupun kekurangannya masing-masing.
Hampir semuanya menggunakan sistem konsinyasi (beli kredit atau pembayaran sesuai
dengan jumlah buku yang laku). Ada
yang lingkupnya nasional serta menjangkau hampir seluruh toko buku, ada pula
yang lingkupnya lokal dan hanya menjangkau toko-toko buku tertentu. Diskon yang
diminta oleh distributor (yang nantinya dibagi dengan toko-toko buku) berkisar
antara 45-60 persen dari harga jual buku. Soal diskon, kita bisa bernegosiasi
dengan pihak distributor dan kemudian kerjasama itu dibuat dalam format kontrak
kerjasama pendistribusian.
Nantinya, sebulan sekali kita akan menerima laporan penjualan buku kita.
Sementara, jatuh tempo pembayaran bervariasi antara distributor yang satu
dengan yang lain. Ada
distributor yang sudah bisa membayar dalam setengah bulan, namun ada pula yang
baru membayar dua bulan setelah laporan penjualan kita terima. Semua ketentuan
itu termaktub dalam kontrak kerjasama.
Pada intinya, delapan langkah itulah yang kita butuhkan untuk mendirikan
sebuah penerbitan mandiri. Kedelapan langkah tersebut sudah mencakup persiapan
penerbitan hingga peredaran buku ke pasaran. Sebab, begitu buku kita sudah
sampai di tangan distributor, maka biasanya seminggu kemudian buku tersebut
sudah beredar di toko-toko buku. Sebagai penerbit, kita sudah menyelesaikan
satu rangkaian proses produksi atau penerbitan buku.
Dan, begitu buku produksi penerbitan mandiri kita beredar di toko-toko, maka
sejak itulah merek penerbitan kita resmi beredar di tengah-tengah khalayak.
Tugas kita selanjutnya sebagai penerbit adalah membuat gema promosi dengan
berbagai aktivitas supaya khalayak tertarik dan kemudian membelinya.
Tapi, saya sering mendapat pertanyaan begini, “Apakah membuat penerbitan
mandiri itu harus disertai dengan pendirian badan usaha semacam PT atau
setidaknya CV? Bagiamana soal pajak dan sebagainya?” Jawaban saya standar saja,
tidak selalu. Apabila penerbitan ini formatnya self-publishing atau independent
publishing, terlebih bila masih coba-coba menemukan format, mengapa harus
di-PT-kan? Langkah itu akan menambah beban biaya lagi, sementara ‘petualangan
penerbitan’ belum tentu menguntungkan.
Nah, apabila nantinya penerbitan yang kita bangun itu menguntungkan, bisa
memproduksi buku lebih banyak lagi, bisa mempekerjakan beberapa orang,
manajemen sudah dirapikan, urusan pajak sudah dipersiapkan dan ditata dengan
lebih baik, silakan bentuk badan usahanya. Dunia penerbitan kita banyak
diwarnai oleh langkah-langkah semacam ini. Hampir semua penerbit kecil atau
independen pada awalnya berusaha memperkuat bisnisnya dulu. Setelah mampu
memperkuat basis bisnisnya dengan terus mengembangkan diri, barulah kemudian
membakukan penerbitannya dalam sebuah badan hukum dan kemudian memproklamirkan
diri menjadi penerbitan umum. Jadi, tunggu apa lagi? Selamat mendirikan
penerbitan mandiri.[ez]
* Edy Zaqeus adalah editor Pembelajar.com, penulis buku-buku best-seller,
penerbit buku, dan konsultan penerbitan. Ia mendirikan Bornrich Publishing dan
Fivestar Publishing yang melahirkan buku-buku laris. Ia juga telah membantu
banyak klien dalam melahirkan buku-buku bestseller dan mendirikan penerbitan
mandiri. Edy dapat dihubungi melalui email: edzaqeus@yahoo.com
Title : 8 LANGKAH MUDAH MEMBUAT PENERBITAN MANDIRI
Description : Salah satu pertanyaan yang sering dilayangkan kepada saya adalah soal bagaimana membuat self-publishing atau independent publishing. Self-p...
Rating : 5